Actions

Work Header

We are like a Cat Family

Summary:

Choi Yeonjun sudah muak mendapatkan kekerasan dari keluarganya entah secara fisik maupun mental. Namun, ia bertemu dengan Kang Taehyun yang sudah menjadi orang tua tunggal di usia begitu muda. Pertemuan mereka berawal dari kucing kecil yang ditinggali sang Induk. Membawa Yeonjun kepada Taehyun yang mampu mengisi kekosongan hatinya dan kerinduannya pada konsep keluarga. Taehyun yang terlihat selalu kuat dan tertawa juga menyimpan begitu banyak luka dibalik kehadiran sang anak, Jungwon.

Notes:

Alur cerita yang diangkat mungkin sensitif untuk beberapa pembaca, saya harap pembaca dapat bijak dalam mengonsumsi cerita ini.

Work Text:

Tatapan matanya yang sendu ke arah langit yang mendung membuat senyuman mengejek terukir di wajahnya yang memar. Yang benar saja, bahkan laingitpun memihaknya? Pikirnya sebelum ia meraih tas nya dan beberapa pakaian yang terlempar dengan sembarangan diteras rumahnya. Dengan cepat ia meraih pakaiannya dan memasukkannya dengan serampangan kedalam ranselnya sebelum ia memutuskan untuk berlari meninggalkan rumah tua itu. Ia berlari dan terus berlari, membiarkan angin dingin menghantam dirinya yang masih berbalutkan seragam sekolah yang bernoda. Ia sekarang tidak tahu harus kemana dan hanya membiarkan kakinya pergi membawa dirinya tanpa tujuan hingga gerimis menjadi hujan.

Sayangnya tidak ada tempat berteduh di sekitarnya, lagipula persetan dengan itu, dia bahkan tak peduli bila dirinya akan sakit karena terguyur hujan, lagipula pada dasarnya memang tidak ada yang peduli, kan? Ia lantas membiarkan dirinya basah, rasa lelahpun akhirnya menampar dirinya kembali ke kenyataan. Kakinya lemas setelah berlari entah berapa lama atau sejauh apa karena dia bahkan tak mengenali lingkungan tempatnya berada saat ini. Sepertinya cukup jauh dari lingkungan rumahnya, setidaknya itu bisa menjadikannya sedikit lebih lega. Ia menghampiri taman yang sepi karena hujan, lantas ia bawa dirinya yang lelah itu untuk duduk disalah satu ayunan yang cukup pendek untuk kaki jenjangnya.

Di taman yang sepi ini, hujan yang mengguyur tanpa belas kasih, pemuda itu memutuskan untuk meluapkan semua perasaannya dan menangis tersedu-sedu. Bukan memar-memar yang tersebar diseluruh tubuhnya yang membuatnya sakit, melainkan hatinya yang rapuh semakin hancur dan hancur, membuatnya takut hati nya akan hilang. Dia berteriak, berharap deru hujan menutupi rasa sakitnya yang terbendung. Namun, semuanya buyar ketika suara-suara samar memasuki indera pendengarannya. Ia penasaran, lantas dirinya segera pergi ke arah sumber suara; perosotan dengan terowongan kecil untuk bermain dibawahnya. Betapa kagetnya ia ketika menemukan seeokar bayi kucing berwarna oranye mengeong karena kedinginan, tidur beralaskan kardus dan berdiri di pojokkan berusaha mencari kehangatan. Pemuda itu seperti melihat dirinya sendiri.

Dia mengambil tasnya yang syukurnya berbahankan anti air sehingga ia tidak perlu khawatir akan isinya meski terguyur hujan. Dia mengeluarkan salah satu pakaiannya untuk menyelimuti bayi kucing itu, sesaat sebelum ia menurunkan bayi kucing itu dari gendongannya, ia merasakan pukulan-pukulan kecil dipunggungnya disertai jeritan memekikkan telinga.

“JANGAN AMBIL JJUNIE NYA JJUJU, DACAL PENCULIK!” seorang anak laki-laki yang kira masih balita itu menggunakas jas hujan bergambar bebek, wajahnya memerah karena menangis, sedangkan kepalan tangannya yang empuk masih setia memukul punggung pemuda itu. Ia meringis kesakitan, bukan karena balita itu melainkan hasil dari perbuatan ayahnya tadi. Ia segera menurunkan bayi kucing itu dan membalikkan tubuhnya untuk bertemu pandang dengan si balita.

“Kakak nggak culik Jjunie kamu, kok. Tadi kakak lagi pakaikan dia selimut karena kedinginan.” Jelasnya berusaha untuk menekan emosi menggebu-gebu si balita yang syukurnya cara itu berhasil. Balita itu mengalihkan perhatiannya pada si pemuda dan menjongkokkan dirinya didalam terowongan perosotan dan memperhatikan bayi kucing yang nampak hangat dan nyaman. Matanya yang bulat itu berbinar cerah, sang pemuda menahan diri karena merasa amat gemas.

“Namanya Jjunie yah? Lucu.”

“Jjuju yang kasih nama! Kalena Jjunie milip Jjuju, adik dan kakak!” ia berbicara dengan antusias meski dengan pelafalan yang masih lucu. Pemuda itu kagum anak sekecil ini sudah fasih berbicara.

“Jjuju kok hujan-hujanan sendirian? Ga dimarahin?” pemuda itu baru sadar kalau balita itu sendirian ke taman yang sedang hujan cukup deras tanpa pendamping. Ia melihat ke sekitar tapi tak menemukan siapa-siapa yang cocok jadi orang tua yang sedang mendampingi anak atau sedang mencari anaknya, hanya beberapa anak sekolah dasar yang pulang bersama teman-temannya.

“Jjuju mau minggat! Kalena Paa abis malahin Jjuju kalena ga boleh temanin Jjunie hali ini. Padahal hujan, kasian Jjunie sendilian. Untung ada kakak yang temanin Jjunie.” Balita itu mengomel dengan bibir yang mengerucut gemas dan pipi yang menggembung.

Pemuda itu tertawa lepas, bukan hanya bayi kucing tapi balita pun mampu membuatnya merasa relate akan situasi yang sedang dialaminya sekarang. Ia hendak berbicara lagi sebelum ia urungkan karena mendengar seseorang berteriak memanggil nama si balita dengan risau.

“Jungwon! Jjuju! Jungwon!”

Mendengar itu, sang pemuda keluar dari terowongan dan melambaikan tangannya pada sumber suara. Ia cukup ketika mendapati pemuda yang tampak lebih muda dan kecil darinya memiliki wajah yang begitu mirip dengan si balita. Pemuda itu melambaikan tangannya dan memberi kode bahwa si balita yang bernama Jjuju atau Jungwon itu sedang bersamanya. Lelaki yang mencari Jungwon itu segera menghampiri mereka, balita itu sepertinya lupa bahwa dia baru saja curhat kalau dirinya sedang kabur dari rumah tapi ia malah berlari penuh bahagia ketika lelaki itu menghampirinya.

“Paa!”

“Paa?”

“Jjuju sayang, maafkan Paa tadi marah. Ayo kita ajak Jjunie juga pulang yah.” Ucapnya sambil memayungi sang balita. Pemuda itu kebingungan, jelas-jelas orang yang dipanggil Paa itu lebih muda darinya.

“Paa, kakak itu temanin Jjunie dan Jjuju.” Ia menarik pelan celana orang yang dipanggil Paa olehnya sambil menunjuk ke arah pemuda itu yang masih basah kuyub. Pemuda itu hanya mengangguk canggung. Mungkin karena sudah terbiasa melihat tatapan itu, si lelaki memperkenalkan dirinya.

“Salam kenal, namaku Kang Taehyun. Terimakasih sudah menemani anak saya, Jungwon.” Ucapnya sambil sedikit membungkuk sopan. Ia lantas berjalan melewati pemuda itu untuk mengambil kardus yang berisi bayi kucing itu, berniat untuk pulang bersama sang anak. Pemuda itu masih mematung, terkesima. TAMPAN SEKALI. Ia menutup mulutnya secara refleks, matanya mengekori lelaki bernama Kang Taehyun itu dan Jungwon yang akan segera pergi meninggalkan taman. Namun sebelum keduanya benar-benar pergi, Taehyun kembali menoleh dan bertemu pandang dengan pemuda itu.

“Ayo ikut bersama kami. Sudah mau gelap, aku baru saja selesai masak makan malam.” Ia berbicara dengan nada cool lalu kembali melanjutkan langkahnya.

“Yey, kakak baik ikut Jjuju dan Jjunie pulang! Ayo kak buluan! Masakan Paa sangat enak!” si balita penuh antusias.

Mata pemuda itu berair, ada yang peduli padaku. Ia pun segera mengambil tasnya dan mengejar dua orang hangat yang baru ia temui di hari yang dingin itu.

Ternyata tempat tinggal mereka tak jauh dari taman, hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit dengan berjalan kaki mereka pun telah sampai ke apartement kecil dan nampaknya sudah tua. Untung saja mereka hanya tinggal dilantai dua karena apartement itu tidak menyiapkan lift padahal memiliki 4 lantai. Pemuda itu mengikuti dari belakang dengan perasaan bercampur; senang dan khawatir. Taehyun pun membuka pintu apartemennya yang terlihat rapi, mengizinkan sang tamu masuk setelah anak kecilnya berlarian dengan sembarangan.

“Hei, Jjuju lepas dulu jaketmu.” Tegurnya lembut. Sang balita pun menuruti dengan pintar. Ia melepaskan jas hujannya dan mengambil handuk berwarna biru muda bergambarkan chococat, seekor kucing dari series Sanrio yang terkenal. Kelar menggunakannya untuk mengeringkan rambut, kaki-kaki mungilnya berjalan ke arah sang tamu yang masih diam membisu di depan pintu.

“Kakak boleh pinjam handuk kesayangan milik Jjuju.” Sang pemuda menerimanya dengan perasaan senang tak lupa mengucapkan terimakasih, membuat si balita bangga dan pergi berlari kekamarnya untuk melakukan sesuatu. Ia hanya bisa menatap handuk kecil yang sudah basah itu, dia tersenyum tipis tapi tak tega memakainya karena dia merasa dirinya akan mengotori handuk menggemaskan itu. Jadi ia mengurungkan niat dan hanya memegangnya saja, menunggu Paa si anak untuk keluar dari kamar mandi untuk diserahkan.

“Kak, silahkan mandi dulu. Aku sudah menyiapkan air panas.” Baru saja dipikirkan, Taehyun sudah keluar dari kamar mandi tak lupa membawa handuk yang lebih besar dan kering. Ia mengambil handuk milik anaknya dari tangan sang pemuda dan menukarnya dengan handuk baru itu.

“Pasti dia memberikannya padamu setelah memakainya kan? Dasar anak nakal itu.” Ia tertawa pelan sambil menggelengkan kepalanya memaklumi tingkah sang anak yang belum mengerti. Pemuda itu juga turut tertawa mendengar tawa Taehyun yang lembut di telinga.

“Ah! Namaku Choi Yeonjun!” ia memperkenalkan dirinya sebelum masuk dan membersihkan dirinya dikamar mandi. Taehyun yang mendengarnya pun mengangguk tanda mengerti.

“Kalau sudah mandi, taruh saja pakaianmu di keranjang. Akan ku cuci.” Ucap Taehyun sambil menunjuk keranjang berisi pakaian yang cukup basah habis dia gunakan tadi ketika mencari Jungwon. Namun Yeonjun menggeleng, menolak tawaran sang pemilik rumah, dia tidak mau merepotkannya terlalu jauh. Tapi Kang Taehyun sepertinya tidak menerima penolakan dan menjelaskan bahwa dia akan menggunakan mesin cuci sekalian mencuci pakaiannya dan Jungwon jadi itu tak merepotkannya sama sekali. Tak enak untuk kembali menolak, Yeonjun pun dengan berat hati menurut. Awalnya Taehyun ingin kembali ke kamarnya untuk mengambilkan dan meminjamkan pakaiannya pada sang tamu, tapi Yeonjun menjelaskan bahwa dia punya baju cadangan didalam tas olahraganya yang dia bawa sejak tadi. Mendengar penjelasan itu, Taehyun pun mengangguk mengerti dan melengos pergi memasuki kamar anaknya sedangkan Yeonjun menutup pintu kamar mandi dan mulai membersihkan dirinya lalu berendam di bak mandi yang berisi air hangat yang telah disiapkan Taehyun tadi.

Selang beberapa menit, ia pun selesai mandi dan berpakaian. Saat ia keluar dari kamar mandi, ia menemukan Taehyun, Jungwon dan Jjunie sedang duduk melantai diruang tengah yang kecil itu sambil menonton televisi. Atensi Taehyun teralihkan pada Yeonjun ketika ia menyadari kehadirannya, ia punmeminta Yeonjun untuk duduk disebelahnya ketika matanya melihat rambut pemuda itu masih cukup basah dan menunjukkan bahwa dirinya sedang memegang hair dryer.

“Tak perlu repot-repot.” Yeonjung menolak lagi, tapi Taehyun sekali lagi tak membiarkannya untuk menolaknya. Yeonjun menurut dan duduk disebelah Taehyun. Karena memiliki perbedaan ukuran tubuh yang terlihat jelas, Taehyun terpaksa harus bertumpuh pada lututnya agar dapat mengeringkan setiap sudut rambut Yeonjun dengan baik. Ia tampak menikmatinya, Yeonjun tak ingat kapan terakhir kali dia mendapatkan perlakuan selembut ini dari seseorang, bahkan dia tidak yakin jika dia pernah merasakannya. Atensinya teralih kepada Jungwon dan kucingnya. Balita itu sibuk menonton program acara anak-anak yang ditampilkan di televisi sambil menemani si Jjunie yang sedang terlelap disebelahnya.

“Sudah~” Taehyun berucap penuh puas, Yeonjun yang menyadarinya langsung berterimakasih dan membungkuk hormat.

“Kau tidak perlu sesopan itu, lagipula kau lebih tua.” Ucap Taehyun dengan nada bercanda. Yeonjun tahu kalau Taehyun pasti menebak umurnya dari seragam dan tulisan kelas di tas nya. Tapi dia masih belum mengetahui umur pemuda itu, ia ingin bertanya tapi takut menyinggung karena ia paham situasi jadi dia akan menunggu Taehyun sendiri yang bercerita jika memang perlu.

“Nah semua sudah selesai mandi, ayo kita makan malam.” Taehyun lantas berdiri mengambil masakan yang sudah ia siapkan dari dapur. Yeonjun mengikut berniat untuk membantu. Syukurnya kali ini Taehyun membiarkannya. Saat melihat masakan yang dibuat olehnya, mulut Yeonjun berair ketika melihat tampilan dan wangi sedap dari kari itu.

Yeonjun membawa piring miliknya dan Taehyun sedangkan lelaki itu membawa piring sang anak lalu membuka meja lipat untuk makan. Ia pun mematikan televisi dan meminta sang anak untuk duduk dan makan bersama.  Kini mereka bertiga menikmati makan malam dengan penuh suka cita. Jungwon seperti anak pada umumnya makan dengan cara berantakan dan kehilangan fokus ditengah-tengah sesi makan sehingga Taehyun harus turun tangan untuk menyuapi balitanya.

Yeonjun memperhatikan dengan khidmat, dia tidak mengenal dua orang ini. Tapi hatinya terasa penuh oleh kehangatan. Momen-momen seperti ini ternyata pernah ia lalui saat kecil, Yeonjun juga pernah merasakan kehangatan keluarga seperti ini. Tapi sudah lama sekali, sudah terlalu lama sampai terasa begitu hampa. Namun Taehyun dan Jungwon langsung mengisi kehampaan dihatinya begitu saja.

“Loh, Kak Yeonjun kenapa nangis?”

“Ah... tidak apa-apa.”

 

--- TBC ---

 

Terimakasih telah membaca sampai akhir. Mohon tinggalkan komentar dan kudos jika berkenan.